Tulisan saya di bawah ini telah dimuat di Bangka Pos kolom Opini edisi hari Sabtu tanggal 31 Mei 2014.
Hutan mangrove secara
umum dapat didefinisikan sebagai suatu tipe ekosistem hutan yang tumbuh di
suatu daerah pasang surut (pantai, laguna, muara ataupun sungai) yang tergenang
pasang dan bebas pada saat air laut surut serta komunitas tumbuhannya mempunyai
toleransi terhadap garam (salinity) air laut.
Tumbuhan yang hidup di
ekosistem mangrove adalah tumbuhan yang bersifat halophyte atau mempunyai toleransi yang tinggi terhadap tingkat
keasinan (salinity) air laut dan pada umumnya bersifat alkalin.
Hutan mangrove di
Indonesia sering juga disebut hutan bakau. Tetapi istilah ini sebenarnya kurang
tepat karena bakau (rhizophora) adalah salah satu family tumbuhan yang
sering ditemukan dalam ekosistem hutan mangrove.
Mangrove merupakan salah
satu tumbuhan yang ada di ekosistem pantai atau pesisir. Keberadaannya
sangatlah menunjang bagi kelangsungan hidup biota yang ada di sekitar pantai
atau laut, seperti kehidupan ikan, kerang, burung dan biota lainnya.
Lingkungan
pesisir yang di dalamnya juga terdapat mangrove sebagai sumberdaya alam
didukung oleh berbagai fungsi spesifik yaitu: sebagai sumber daya pariwisata
dan rekreasi, sebagai sumberdaya perikanan, sumberdaya pertanian, sumberdaya
ekologis dan konservasi alam serta sebagai tempat tinggal penduduk.
Indonesia
merupakan negara kepulauan dan memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia,
mencapai 81.000 km, yang secara garis besar dapat di bagi menjadi kawasan
budidaya dan kawasan non budidaya. Pantai non budidaya dapat berupa daerah
konservasi salah satunya mangrove dan daerah yang tidak dibudidayakan, misalnya
karena sumberdaya alam yang miskin dan atau karena keadaan alamnya yang sulit,
dicapai seperti daerah pantai yang terjal, kering, rawan bencana alam.
Hutan
mangrove berguna dalam memberikan unsur hara terhadap ekosistem mangrove itu
sendiri, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan
dan mendukung organisme akuatik lainnya.
Mangrove juga merupakan alat atau tameng daerah pesisir yang
mempunyai banyak manfaat. Melestarikan
mangrove adalah sebagai kepedulian kita terhadap lingkungan dimana sekarang ini
bumi semakin panas, sehingga keberadaan mangrove bisa memberikan asupan oksigen
yang dibutuhkan makhluk hidup dan tidak kalah pentingnya adalah untuk
kelangsungan hidup biota ekosistem pesisir atau pantai, menghijaukan pantai
agar dapat mencegah abrasi, banjir dan tenggelamnya wilayah pesisir.
Namun dewasa ini yang terjadi semakin membuat kita pesimis akan
kemungkinan untuk tetap merasakan manfaatnya di tahun-tahun mendatang. Sangat disayangkan bila kondisi seperti
saat ini masih dibiarkan, maka tidak mustahil jika suatu saat nanti anak cucu
kita tidak dapat menikmati indahnya hutan mangrove dan ekosistem pantai.
Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah
mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Sebagai
contoh seperti adanya
reklamasi pantai, alih fungsi lahan yang terjadi di wilayah pesisir seperti
bangunan perusahaan pengolahan ikan, kawasan pemukiman penduduk,
pertambakan dan lain-lain.
Kebanyakan lahan mangrove selama ini terkonversi untuk kegiatan
yang tidak dipikirkan secara berkelanjutan dimana hanya memenuhi kebutuhan
sementara. Misalnya, banyak petani tambak yang membabat begitu saja greenbelt (jalur hijau) dan menggantinya dengan
tambak yang menurut mereka lebih bernilai ekonomis.
Adanya ketentuan jalur hijau atau greenbelt dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan pasang
tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur terabaikan.
Padahal hal itu dapat berakibat fatal bila dilakukan tanpa perencanaan yang
matang. Ketika mangrove tersebut hanya tinggal beberapa baris saja sebelum
garis pantai, maka saat itu juga mangrove tersebut kehilangan fungsi
ekologisnya.
Pemanfaatan
areal mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar diantaranya usaha di bidang
perikanan, biasanya pada areal ekosistem mangrove dilakukan dalam dua bentuk
yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Kegiatan
perikanan ini biasanya dilakukan dalam skala yang beragam. Ada yang skala besar
dengan dikelola secara profesional oleh perusahaan, contohnya tambak udang
skala besar dan budidaya ikan air payau. Ada pula yang skala tradisional dengan
hanya memanfaatkan areal di sekitar mangrove untuk budidaya ikan air payau,
budidaya kerang ataupun penangkapan hasil laut di sekitar pantai.
Bentuk perikanan
budidaya yang paling umum di perairan pantai Indonesia adalah kolam budidaya
atau tambak yang di laksanakan secara luas di Jawa, Sumatera, Sulawesi Selatan
dan Kalimantan. Jenis ikan yang di budidayakan seperti ikan bandeng, kakap
putih, udang dan sebagainya.
Sumberdaya
perikanan yang utama di perairan ini adalah ikan pemakan detritus, kepiting,
krustaceae dan molusca. Nelayan mengeksploitasi wilayah ini dengan menggunakan
alat tangkap tradisional seperti perangkap ikan, "bubu", "kelola",
pancing jala dan insang dimana menghasilkan tingkat produksi perorangan yang
rendah.
Penurunan
kualitas lingkungan pesisir di banyak tempat terjadi terutama akibat pencemaran
dan atau perusakan lingkungan di sekitanya. Pencemaran lingkungan pantai dapat
terjadi karena masukan polutan dari kegiatan di sepanjang garis pantai, dan
atau secara tidak langsung: melalui aliran sungai, kegiatan di lepas pantai,
karena intrusi air laut ke dalam air tanah dan sebagainya.
Sedangkan
kerusakan lingkungan pantai berupa: abrasi pantai, kerusakan hutan bakau
(mangrove), kerusakan terumbu karang, penurunan sumber daya perikanan,
kerusakan padang lamun dan sebagainya. Faktor lain yang juga memperparah kerusakan mangrove dalah
reklamasi pantai. Kegiatan ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga
membunuh biota air yang hidupnya tergantung pada keseimbangan ekosistem
mangrove.
Dengan
eksploitasi wilayah ekosistem mangrove yang berlebihan menyebabkan kondisi
lingkungan pesisir di beberapa pantai di Indonesia cenderung mengalami
penurunan kualitas atau bahkan sudah tidak mampu berfungsi lagi untuk menunjang
pembangunan dan kesejahteraan penduduk secara berkelanjutan. Agar fungsi
lingkungan pesisir tetap lestari maka perlu dilakukan tindakan nyata untuk
pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan tersebut.
Belum adanya kebijakan regional untuk melindungi mangrove
ditengarai sebagai penyebab utama degradasi mangrove di Indonesia. Masyarakat
pesisir belum disadarkan sepenuhnya tentang pentingnya menjaga kelestarian
mangrove.
Ada satu
pola pemanfaatan perikanan budidaya yang berada di areal ekosistem mangrove
dengan maksud pengelolaan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove
yaitu Silvofishery. Pola ini
merupakan hasil kombinasi yaitu budidaya ikan yang berada pada empang hutan
mangrove.
Metode tumpang sari atau silvofishery
merupakan suatu kegiatan harmonisasi budidaya perikanan dengan hutan mangrove.
Dimana dalam hal ini komoditas budidaya adalah ikan bandeng, ikan kakap ataupun
ikan air payau lainnya dan vegetasi hutan mangrove adalah Rhizopora sp. dan Avicenia sp.
Prinsipnya metode ini mengandalkan berbagai jenis burung yang bersarang
pada pohon mangrove dan kotorannya bermanfaat sebagai pupuk guna menumbuhkan
pakan alami berupa klekap. Klekap merupakan makanan bagi ikan bandeng yang
terdiri dari berbagai jenis mikro organisme dan membentuk flok.
Penanaman mangrove memiliki
fungsi penting sebagai penyerap polutan, pelindung pantai, meredam ombak, arus
serta menahan sedimen. Selain itu, mangrove juga berfungsi untuk meredam pasang
laut, sebagai habitat flora dan fauna, serta melindungi pantai dari hempasan
badai dan angin, mangrove juga dapat mengurangi emisi karbon sebagai upaya
penanggulangan dampak pemanasan global.
Ekosistem mangrove dapat mulai pulih lagi dalam kurun waktu 4–5 tahun
setelah proses pembibitan, menanam dan memeliharanya. Setelah ekosistem mangrove pulih,
masyarakat akan merasakan manfaat ekonominya. Tanaman bakau jenis Sonneratia caseolaris dan Bruguiera
gymnorhiza dapat dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif seperti
sirup, dodol, dan tepung karena mengandung karbohidrat dan kalori yang tinggi.
Bukan hanya buah dari tanaman mangrove saja, tetapi bagian yang
lain juga dapat dimanfatkan. Kayu dari mangrove mati dari jenis Rhizophora
mucronata, Rhizophora apiculata, keduanya cocok untuk tiang dalam konstruksi
rumah karena batangnya yang lurus, dapat juga berfungsi sebagai meubel. Tanin
(ekstrak kulit kedua jenis mangrove tersebut) dapat digunakan menjadi bahan
penyamak kulit pada industri sepatu atau tas, sebagai bahan baku lem, dan
lain-lain. Daun dari jenis Nypa fruticansdapat dianyam menjadi
atap. Bahkan beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat. Air
rebusan Rhizophora apiculata berfungsi sebagai astrigent,
kulitnya dapat menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops
tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air
rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat
diabetes (Inoue et al., 1999).
Diperlukan adanya masterplan yang
memperhitungkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi untuk langkah awal
mengembalikan kelestarian pesisir. Perlu juga adanya campur tangan dari
pemerintah setempat untuk membatasi
penggunaan lahan di sekitar kawasan lindung ini. Hal ini dapat
dicontohkan dengan dikeluarkannya suatu kebijakan yang mengharuskan semua
penyumbang ‘carbon’ kota untuk ikut berpartisipasi melestarikan mangrove secara
berkala dan berkelanjutan (menanam bibit mangrove dan bertanggungjawab pula
terhadap pengawasannya).
Keterlibatan masyarakat juga diperlukan, dari
tahap perencanaan, proses pemulihan kelestarian maupun dalam proses pengawasan
lingkungan. Sehingga diperlukan kerjasama
yang baik antar stageholder yang akan dapat memaksimalkan keberhasilan dalam melestarikan
keberadaan ekosistem mangrove.
Mari
kita selamatkan ekosistem hutan mangrove, demi anak cucu kita, demi masa depan
planet ini dan demi bumi yang lebih bersahabat bagi manusia. Mari kita memberikan
dukungan baik moral dan material pada usaha-usaha yang bertujuan menjaga
kelestarian hutan mangrove, baik itu di lingkungan sekitar kita, di Indonesia
maupun di dunia.
Beri
dukungan bagi kebijakan-kebijakan pelestarian hutan mangrove dan lawan segala
bentuk eksploitasi hutan mangrove demi kepentingan ekonomi. Mari kita berikan
pendidikan pelestarian lingkungan sejak dini dan mengajarkan bahwa pelestarian
hutan mangrove adalah salah satu cara membuat bumi semakin baik.
Salam
Perikanan ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar