Jumat, 25 Agustus 2017

POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR LAUT DI WILAYAH KABUPATEN BANGKA BARAT

Kabupaten Bangka Barat merupakan Kabupaten pesisir di pulau utama (mainland) yaitu Pulau Bangka yang terletak pada 105°-107° Bujur Timur dan 01°20’-03°07’ Lintang Selatan, dengan luas wilayah daratan sekitar 2.820,61 Km2 didukung perairan laut seluas 1.690,28 Kmdan pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitarnya.


Kondisi ini menjadikan Kabupaten Bangka Barat memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup besar utamanya untuk budidaya air laut, air payau dan air tawar dan merupakan usaha strategis dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bangka Barat. Namun pemanfaatannya belumlah optimal karena keterbatasan sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi, dan permodalan. Kabupaten Bangka Barat terdiri dari 6 Kecamatan yang meliputi 60 Desa dan 4 Kelurahan. Di antara desa-desa tersebut terdapat 32 desa yang merupakan desa-desa yang mempunyai wilayah laut atau bersinggungan/ berdekatan dengan laut/ pantai dan sungai.
Pemanfaatan potensi kelautan dan perikanan tersebut khususnya terhadap potensi kelautan sudah berkembang, yaitu dengan aktifitas penangkapan ikan di laut oleh nelayan. Sedangkan budidaya air laut sampai saat ini belum termanfaatkan. Pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang masih rendah ini disebabkan oleh keterbatasan sarana prasarana yang dimiliki, kemampuan nelayan yang masih rendah, teknologi yang digunakan masih sederhana serta belum adanya pelaku bidang kelautan dan perikanan memanfaatkan teknologi penunjang dalam aktifitasnya.
Sub sektor perikanan khususnya perikanan laut sangat dominan di Kabupaten Bangka Barat mengingat Pulau Bangka dikelilingi oleh lautan yang memiliki sumberdaya laut yang relatif besar untuk dikembangkan. Komoditi yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi seperti ikan kerapu, kakap merah, udang, cumi-cumi, sirip ikan dan lain-lain.
Potensi budidaya air laut sebesar 51.290.2 ha, sementara pemanfaatannya sama sekali belum tersentuh. Adapun yang menjadi kendala selama ini adalah keterbatasan sarana penunjang produksi, penerapan teknologi dan permodalan. Sedangkan dari hasil analisis parameter kualitas lingkungan baik yang dianalisis secara in situ maupun uji laboratorium sebagai faktor pertimbangan dalam menyusun kelayakan budidaya air laut, payau dan air tawar, maka dapat disimpulkan seperti di bawah ini:
Parameter Fisika:
Suhu Perairan: berdasarkan hasil pengukuran suhu secara in situ di kawasan Kabupaten Bangka Barat kisaran suhu yang diperoleh berkisar antara 27–32°C dengan rerata 29°C.
Salinitas: hasil pengukuran in situ salinitas untuk stasiun di laut dan perairan payau berkisar antara 17–32 ppt dengan rerata 26 ppt. Untuk salinitas perairan di Indonesia berkisar antara 30–35 ppt, sedangkan daerah pesisir salinitasnya berkisar antara 32–34 ppt.
Substrat: hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa ada beberapa tipe substrat yang terdapat di Kabupaten Bangka barat adalah berpasir, pasir berliat, pasir berlumpur, pasir berlumpur berliat, liat berlumpur. Substrat dengan tipe pasir berliat sangat baik digunakan untuk kegiatan budidaya ikan dengan wadah budidaya kolam ataupun tambak. Hal ini disebabkan substrat pasir memiliki rongga udara, sehingga pasokan oksigen dari kolom perairan menjadi lancar dan ketersediaan oksigen cukup tinggi.
Parameter Kimia
Derajad Keasaman (pH): dari hasil pengukuran pH didapatkan hasil pH yang masih sesuai dengan pH yang ada di perairan yang normal, yaitu berkisar antara 6–7.
Oksigen Terlarut: pengukuran kadar oksigen terlarut berkisar antara 1.6–7.8 ppm dengan rerata 5.7 ppm. Hasil pengamatan di seluruh stasiun memiliki DO yang cukup baik.
Nitrat (NO3) dan nitrit (NO2): hasil pengukuran nitrat (NO3-N) berkisar antara 0.01–11.14 ppm, sedangkan untuk nitrit (NO2) berkisar antara 0.01-0.75 ppm dengan rerata hasil pengukuran 0.16 ppm. Hasil ini menunjukkan kadar nitrat di perairan Kabupaten Bangka Barat tergolong jauh lebih tinggi dari kadar normal di perairan (perairan normal berkisar antara 0.01–0.05 ppm).
Parameter kimia lainnya
Hasil pengukuran amonia menunjukkan kandungan yang terlalu tinggi, berkisar antara 0.3-2.09 ppm dengan rerata hasil pengukuran 0.45 ppm.  Tingginya kadar amonia di salah satu stasiun pengukuran diduga disebabkan oleh sisa hasil tambang serta kotoran rumah tangga yang dibuang langsung ke perairan tersebut.
Hasil pengukuran nilai fosfat (PO4) berkisar antara 0.01-2.99 ppm dengan rerata 0.23 ppm. Kadar fosfat yang agak tinggi ini disebabkan letak stasiun pengamatan yang berdekatan dengan pantai yang berasosiasi dengan hutan mangrove atau tumbuhan lain di hutan.
Untuk Alkalinitas berkisar antara 11.83-102.28 ppm dengan rerata 62.84 ppm. Pada umumnya lingkungan mediaa yang baik untuk kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas di atas 20 ppm. Sedangkan alkalinitas optimal dalam budidaya ikan intensif adalah 100-150 ppm.
Kecerahan perairan memiliki kisaran antara 0.3-1.2 m dengan rerata 0.7 m. Dengan nilai kecerahan yang cukup besar, dapat meningkatkan kesuburan perairan tersebut. Sedangkan hasil pengukuran mercuri (Hg) menunjukkan konsentrasi yang cukup rendah, yaitu di bawah 0.001 ppm.
Parameter Biologi: hasil identifikasi plankton menunjukkan terdapat sekitar 53 jenis plankton dengan jumlah total 2.270 individu.
Potensi Budidaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka Barat
Potensi Budidaya Perikanan
Desa/ Dusun
Lokasi
Peruntukan
Budidaya
Teknis Budidaya
Perkiraan Luas
(Ha)
Laut 51.290.2 Hektar



Muntok
Tanjung
Pantai tanjung besayap
Kerapu dan Kakap
Karamb jaring apung (KJA)
30.661,4
Tanjung Ular
Pantai tanjung ular
Kerapu dan Kakap
KJA
Selindung
Pantai Bendul
Kerapu dan Kakap
KJA
Belo Laut
Pantai Pait
Kerang Darah
Bagan Tancap
Sukal
Muara Sukal
Kerang Darah
Bagan Tancap
Tanjung
Punai
Pantai Tanjung
Punai
Kerang Darah
Bagan Tancap
Air Limau
Pantai Air Mas
Rajungan
Karamba jaring
Simpang
Teritip
Kundi
Pantai Tanjung
Tadah
Kerang Darah
Bagan Tancap

Air Nyatoh
Pantai Teritip
Rajungan
Karamba, jaring
Simpang Gong
Pantai tungau
Rajungan
Karamba, jaring
Parittiga
Bakit
Pantai Tanjung Ru
Rajungan
Karamba, Jaring
9.396,6
Pulau Nanas
Rumput laut
Tali Panjang
Kelabat
Jebu Laut
Kerapu dan Kakap
KJA
Laut Teluk
Kelabat
Kerapu danKakap
KJA
Cupat
Pantai Cupat
Kerapu dan Kakap
KJA
Teripang
Kurung tancap
Jebus
Teluk Limau
Pantai Pala
Kerapu dan kakap
KJA
6.288,1
Penganak
Pulau Perut
Kerapu dan Kakap
KJA
Ketap
Pulau kemuja
Kerapu dan Kakap
KJA
Sungai Buluh
Pantai Bembang
Rumput laut
Tali Panjang
Rajungan
Karamba, jaring
Kelapa
Pusuk
Teluk Kelabat
Kerang Darah
Bagan Tancap
2.148,1
Teripang
Kurung Tancap
Tempilang
Tanjung Niur
Pantai Tanjung
Niur
Kerang Darah
Bagan Tancap
2.796
Rajungan
Karamba, jaring
Rumput Laut
Tali Panjang
Benteng Kota
Pulau Semubung
Rumput laut
Tali Panjang
Kerapu dan Kakap
KJA
Sinar Surya
Pantai Basun
Kerapu dan Kakap
KJA
Rajungan
Karamba, jaring
(Sumber: Studi Kelayakan Pengembangan Budidaya Air Laut, Payau dan Air Tawar di Kabupaten Bangka Barat, 2011)

Kawasan perairan laut di Kabupaten Bangka Barat memiliki beberapa lokasi yang potensial dikembangkan untuk budidaya laut, terutama pengembangan karamba jaring apung, budidaya rumput laut, budidaya pembesaran kerang darah serta rajungan. Beberapa kawasan berupa teluk dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan terlindung yang menjadi syarat utama pemilihan lokasi budidaya, seperti teluk Kelabat, pulau Nanas, Pusuk dan sekitar Muara Sukal. Muara sungai Sukal merupakan tempat yang sangat berpotensi untuk menjadi wilayah budidaya kerang darah, dengan kondisi perairan dan substrat yang baik bagi kerang darah menjadi sebuah daya dukung untuk keberlangsungan kegiatan budidaya.
Pulau Nanas yang terletak di perairan teluk kelabat secara visual sangat cocok menjadi tempat budidaya laut, wilayahnya yang cenderung tertutup dari laut lepas membuat perairan di sekitar pulau Nanas menjadi relatif tenang. Dari pengujian parameter pendukung budidaya ikanpun menunjukkan hasil yang mendukung bahwa pulau Nanas dapat menjadi salah satu tempat untuk budidaya laut. Pulau Nanas cukup baik untuk pengembangan usaha budidaya ikan kerapu ataupun kakap dengan menggunakan karamba jaring apung (KJA).
Potensi budidaya kelautan yang ditawarkan di Pulau Nanas diharapkan mampu mendukung sektor pariwisata di gugusan pulau kecil yang saat ini sedang diteliti potensinya untuk dikembangkan. Pulau nanas selain memiliki keindahan panorama pantai khas dengan pohon kelapa dan pasir putih lembutnya juga airnya masih bening karena tidak ada aktivitas penambangan di daerah itu. Keindahan alamnya masih alami dan asri dimana sangat cocok untuk pariwisata dan budidaya laut seperti pengembangan rumput laut, budidaya ikan dalam karamba, budidaya siput gunggung dan lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi
Budidaya ikan laut seperti ikan kerapu atau kakap merupakan jenis ikan yang menjadi komoditas unggulan bagi perikanan laut. Budidaya kerapu dan kakap berkembang cukup pesat dalam upaya untuk memenuhi tingginya kebutuhan permintaan baik dalam dan luar negeri. Beberapa jenis ikan kerapu dan kakap yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi antra lain:
  • Kerapu tikus atau kerapu bebek dengan nama komersil grace Kelly (Cromileptis altivellis) merupakan primadona dalam budidaya kerapu, harganya di pasar domestik ditingkat pengecer bisa mencapai 200–300 ribu rupiah perkilogram, sedangkan di pasar mancanegara mencapai U$ 40–50.
  • Kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) dan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), Kerapu jenis ini juga menjadi komoditas yang cukup menjanjikan dimana di pasar domestik saja harga kerapu jenis ini dapat mencapai 90–100 ribu rupiah per kilogram.
  • Kakap putih (Lates calcarifer), jenis ikan kakap ini cukup mudah dibudidayakan dan menjadi komoditas yang cukup menjanjikan.
  • Kakap merah (Epinephelus sp), merupakan jenis ikan laut yang tetap menjadi primadona di masyarakat lokal Indonesia dengan harga yang relatif stabil.
Pembudidaya ikan laut dapat menggunakan budidaya dengan sistem karamba jaring apung (KJA) ataupun membudidayakan ikan laut di tambak. Dimana kedua sistem budidaya tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Untuk menekan biaya, biasanya pembudidaya memilih sistem karamba jaring apung (KJA), karena biaya pembuatan KJA lebih murah dan mudah dibandingkan dengan pembuatan tambak.  Akan tetapi, konsekuensinya, jika menggunakan budidaya sistem KJA, maka pembudidaya melakukan pembersihan karamba secara periodik dari kotoran-kotoran yang biasanya menempel di sekitar karamba. Budidaya laut dengan sistem tidak KJA (tambak) membutuhkan modal dan biaya yang cukup besar. Sehingga sangat dibutuhkan kerjasama dengan investor atau pihak lain untuk mengembangkan sektor budidaya laut ini.
Dengan demikian, Kabupaten Bangka Barat yang memiliki karakteristik wilayah dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup besar dimana pemanfaatannya belum optimal, sehingga perlu pengembangan dan pengelolaan yang lebih baik. Para pelaku budidaya yang ada bisa mengembangkan usaha budidaya laut ini secara mandiri, berkelompok ataupun bekerjasama dengan pihak ketiga (investor), agar ke depannya budidaya laut di wilayah ini semakin berkembang dengan optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem perairan yang ada agar tetap terjaga dengan baik keberadaannya dan termanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bersama.

Tulisan saya di atas juga di muat di website PusluhKKP:

Minggu, 13 Agustus 2017

Budidaya Lele Dengan Kombinasi Sistem Tertutup dan Bioflock

Untuk efisiensi biaya dalam budidaya lele, telah dicoba dengan solusi budidaya dengan kombinasi sistem tertutup dan bioflok. Budidaya lele dengan sistem air tertutup dan adopsi sistem bioflok sederhana tak hanya mampu menekan biaya pakan, tetapi juga meningkatkan kepadatan tebar dan menurunkan biaya produksi benih.



Menurut Dwi Purnomo, Technical Service Area Banyumas PT Suri Tani Pemuka, kunci dari keberhasilan sistem ini adalah kestabilan pH(keasaman) dan eksistensi bakteri pengurai bahan organik yang sekaligus membentuk flok. “Kalau memilih sistem bakteri, maka tidak lagi boleh ada plankton dalam air, juga sebaliknya. Sebab pembentukan flok akan terganggu dengan adanya plankton dalam air,” tuturnya.


Sayang, karena konstruksi kolam lele yang rata-rata tidak tertutup/tidak beratap maka pada musim hujan kemasukan air hujan sehingga terjadi perubahan komposisi kimiawi maupun biologi air, plankton biasanya akan tumbuh. “Walaupun begitu, sistem ini tetap efektif asal persiapan air pada awal periode pemeliharaan sudah benar,” tegasnya.


Tingkat keamanan close system dan flok pada budidaya lele ini, kata Dwi Purnomo, akan sempurna jika benih yang digunakan hasil pembenihan sendiri. Sebab benih merupakan faktor resiko terbesar pembawa penyakit ke dalam kolam selain air. “Bibit dari luar, apalagi dari pasar yang tidak jelas asal-usul dan riwayat manajemen pembenihannya berisiko besar membawa penyakit,”tandasnya.

Manajemen Air


Menurut Suminto, pelopor budidaya lele dumbo di Pokdakan dan UPR (Unit Perbenihan Rakyat) yang terletak di Mandiraja, Banjarnegara, Jawa Tengah, agar air baru memenuhi syarat untuk budidaya sistem tertutup, harus ditumbuhkan pakan alaminya.


“Pakan alami berupa daphnia. Selain itu juga harus tumbuh bakteri yang nantinya saat budidaya berjalan akan menghasilkan flok. Flok ini juga pakan alami,” terangnya. Flok pada lele ini, meskipun belum serumit dan sebagus pada budidaya udang, menurut pengalaman Suminto cukup untuk menurunkan FCR (konversi pakan) sebesar 0,2 bahkan lebih.
Untuk petakan kolam 3x5x0,5 m3 Suminto memasukkan 10 kg kompos dalam karung ke dalam air kolam. Setelah itu, air diberi larutan campuran probiotik 5 ml/m3 dan tetes tebu (molasses) 200 g/m3. Setelah itu air didiamkan minimal selama 1 pekan, sampai timbul kutu air (daphnia). Daphnia menjadi pakan alami benih yang akan ditebar. “Populasi daphnia biasanya mencapai puncaknya pada umur 15 hari setelah air diolah. Mereka muncul begitu saja,” jelas pembudidaya yang mengantongi banyak sertifikat pelatihan dari Kemnterian Kelautan dan Perinanan ini.


Menurut Suminto, air bekas kolam yang telah dipakai pada budidaya periode sebelumnya, harus melalui perlakuan yang hampir sama agar bisa dipergunakan kembali. Selain untuk menekan risiko akibat residu maupun patogen, juga untuk memulihkan nutrisi alami dan keseimbangan mikroorganisme yang ada didalam air itu. Bedanya, kata Suminto, pada air bekas ini tidak perlu diberi kompos lagi. Sedangkan dosis larutan probiotik dan molasses sama persis.


Suminto menyatakan, selain ditandai munculnya daphnia, air sudah ‘jadi’ dan siap ditebari benih jika air kolam warnanya hitam kecoklatan. Namun jika air diambil dengan gelas tetap terlihat jernih. Begitu ikan/benih ikan dimasukkan ke kolam akan muncul ‘kabluk’ (endapan halus) dari dasar kolam. Kabluk yang sebenarnya adalah tanda flok mulai terbentuk ini akan terus teraduk sesuai dengan pergerakan aktif ikan. “Maka kepadatan kolam dibuat lebih tinggi agar flok ini terus teraduk,” katanya.


Semakin bertambah umur penebaran air akan berubah menjadi coklat kekuningan, dan lama kelamaan akan menjadi kemerahan. “Itu tanda flok sudah jadi,”tegas Minto. Teknis perlakuan air ini bisa untuk pembesaran benih maupun pembesaran lele konsumsi.


Dwi Purnomo menyatakan, selanjutnya untuk menjaga populasi bakteri, dibuat tabung konservasi di dalam kolam. “Intinya supaya ada bagian dari kolam yang tidak terjamah ikan. Di situ akan jadi reservoir bakteri yang dibutuhkan oleh sistem ini,”terangnya. Tabung itu bisa dibuat dari gorong-gorong berdiameter 40 – 50 cm dengan panjang melebihi tinggi air kolam. Tabung diletakkan vertikal dan ujung lubang bagian atas yang berada di atas permukaan air ditutup.

Minggu, 06 Agustus 2017

Cara Sederhana Membuat Pakan Ikan Herbivora

Pakan untuk ikan yang instan (buatan pabrik) biasanya mempunyai harga yang relatif mahal. Untuk menyiasati mahalnya harga pakan ikan, petani ikan (pembudidaya ikan) membuat pakan sendiri dengan bahan-bahan yang alami, aman, lebih murah dan biasanya dapat ditemukan dengan mudah di sekitar lingkungan tempat tinggal kita.
Kita perlu memahami bahwa pakan buatan sendiri hanya bersifat pelengkap atau tambahan guna memenuhi kebutuhan energi ikan yang dipelihara. Pakan tambahan atau yang bersifat pelengkap peran utamanya adalah sebagai penyedia energi. Pakan ini bersifat melengkapi pakan komersial buatan pabrik atau pelengkap bagi pakan alami yang tersedia dalam kolam.
Membuat pakan untuk ikan herbivora, seperti ikan nila, gurami, maupun ikan-ikan lainnya relatif lebih mudah karena ikan ini dikenal sebagai hewan herbivora, yaitu hewan yang suka makan tumbuhan.
Oleh karena itu bahan-bahan untuk membuat pakan ikan herbivor dapat menggunakan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di lingkungan kita. Kita dapat menggunakan daun singkong, kedelai maupun daun lainnya yang disukai oleh ikan tersebut. Untuk mengujinya maka daun tersebut bisa kita berikan langsung kepada ikan gurami, jika respon yang diberikan positif (ikan mau memakannya) berarti daun tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pakan.
Tanaman dari kelompok Leguminosa sudah sering digunakan sebagai bahan makanan ternak, baik daun maupun biji-bijiannya. Bahan-bahan ini mengandung protein yang cukup tinggi, yaitu sekitar 20 – 30 %.  Kita perlu mengolah terlebih dahulu bahan baku tersebut agar dapat menghilangkan atau mengurangi dampak negatif dari senyawa anti nutrisi yang terdapat di dalamnya.
Cara yang biasa digunakan adalah dengan merendam daun/ biji-bijian dalam air dicampur kapur selama 24 jam, atau dengan merebusnya di dalam air  selama 1 jam.  Proses ini akan melarutkan sebagian senyawa anti nutrisi tetapi juga akan menghilangkan sebagian dari vitamin yang terkandung di dalamnya.
Setelah itu bahan-bahan tersebut digiling hingga halus.  Untuk menggiling biji-bijian dapat menggunakan gilingan kopi, sedangkan untuk daun-daunan harus dicincang terlebih dulu sebelum digiling.  Meskipun mempunyai nilai gizi yang tinggi, tetapi karena mengandung berbagai senyawa anti nutrisi maka penggunaan bahan baku ini untuk pakan ikan terbatas maksimum 10 kg/100 kg pelet.
Sumber protein hewani yang biasanya mudah di dapat, yaitu bekicot dan keong (Mollusca), jika di daerah pesisir, kerang-kerangan adalah protein hewani yang sangat mudah didapat. Mollusca mengandung protein tinggi, bisa mencapai 60 % (menyamai tepung ikan), selain itu  juga mengandung lemak dan asam-asam lemak yang dibutuhkan sebagai sumber energi bagi ikan.  Kandungan lemak keong dan sejenisnya biasanya sekitar 6%.
Untuk memanfaatkan hewan ini terlebih dahulu harus dikeluarkan dari rumahnya (cangkang), cara sederhana adalah dengan memecah “rumahnya” dan mengambil dagingnya, atau dapat dilakukan dengan merebus dalam air selama 15-20 menit.  Setelah itu keong atau bekicot dipotong-potong lalu dimasukkan dalam gilingan daging.  Prosentase yang digunakan sekitar 5-10 kg/100 kg pelet yang dibuat.
Untuk merekatkan campuran bahan baku yang digunakan menjadi bentuk pelet kita memerlukan bahan yang mengandung kanji, seperti tapioka, tepung jagung, tepung beras, atau tepung terigu.  Bahan yang paling murah sudah tentu tapioka atau limbah industri tapioka.  Bahan-bahan ini sudah berbentuk tepung sehingga mudah menggunakannya.  Agar dapat berfungsi sebagai perekat maka bahan yang mengandung kanji perlu dicampur dengan air panas.  Jumlah yang diperlukan bisa mencapai 25-30 kg/100 kg pelet.
Pada musim panen padi biasanya harga dedak di penggilingan padi menurun.  Dedak juga dapat digunakan sebagai sumber energi bagi ikan-ikan herbivora.  Jumlah yang digunakan antara 15-25 kg/100 kg pelet.
Semua bahan dijadikan satu dan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan untuk memudahkan dalam proses pencetakan pelet. Pencetakan pelet disesuaikan dengan piringannya dengan diameter yang diinginkan.