Sabtu, 01 Maret 2014

Nelayan Riwayatmu Kini

Tulisan saya di bawah ini juga telah dimuat di Bangka Pos edisi cetak kolom Opini hari Jum'at, tanggal 21 Februari 2014 dan di bangkapos.com :

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melarang penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ke kapal nelayan dengan ukuran di atas 30 GT. pelarangan itu merupakan kado kesengsaraan bagi nelayan di tengah kondisi cuaca buruk yang membuat nelayan tidak bisa melaut.


Sangat disayangkan disaat kondisi cuaca buruk seperti saat ini yang mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut, pemerintah justru menambah berat beban nelayan melalui pencabutan BBM subsidi bagi nelayan dengan kapal 30 GT ke atas.
Bahkan akibat kebijakan tersebut, para nelayan berencana melakukan aksi unjuk rasa yang akan dilakukan di Jakarta pada pertengahan minggu ini. Ribuan nelayan dari Indramayu, Cirebon, Tegal, Batang dan seluruh nelayan Pantura yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB), akan melakukan aksi ke kantor ESDM dan Istana Negara.
Pencabutan subsidi BBM itu telah diumumkan melalui surat yang dikeluarkan BPH Migas yang ditandatangani Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Someng Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014.
Dalam surat tersebut dikeluarkan perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga agar tidak menyalurkan dan tidak melayani penyaluran jenis BBM tertentu (BBM Bersubsidi)  kepada konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran Kapal di atas 30 gross ton (GT).
Surat tersebut ditujukan kepada Pertamina,  AKR Corporindo dan Surya Parna Niaga dengan tembusan antara lain kepada Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Chatib Basri,  Menteri ESDM Jero Wacik  dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo.
Keputusan itu didasari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM tertentu, yang membatasi subsidi BBM untuk kapal di atas bobot mati 30 ton.             Perpres 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan bobot maksimum 30 "gross" ton (GT) yang boleh menggunakan BBM bersubsidi.
Aturan tersebut disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Perpres 15/2012 tertanggal 24 Februari 2012 yang mengatur kapal di bawah 30 GT hanya boleh mengonsumsi BBM subsidi maksimal 25 kiloliter per bulan.
Ditambah lagi dengan adanya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18/2013 tentang Harga Jual Eceran Jenis BBM Tertentu untuk Konsumen Pengguna Tertentu, konsumsi solar bagi nelayan paling banyak 25 kiloliter per bulan. Selain itu juga ada surat Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 yang mengatur penyaluran subsidi BBM oleh Pertamina.
Akibat kebijakan itu, nelayan yang biasanya membeli solar seharga Rp 5.500 per liter, kini menjadi Rp 13.500 per liter. Saat ini, harga solar industri telah mencapai sekitar Rp12.924 perliter. Sementara kebutuhan kapal terhadap BBM sekitar 25 ribu kilo liter (KL) perkapal untuk sekali melaut. Kondisi inilah yang diharapkan oleh nelayan untuk kembali dipertimbangkan sebelum dilakukannya pemberlakuan kebijakan tersebut. Dengan pencabutan subsidi itu, dipastikan nelayan tidak bisa lagi menjangkau harga BBM non-subsidi. 
Terlebih lagi menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, dari sekitar 500.000 kapal perikanan, terdapat 95 persen berukuran di bawah 30 GT. Bisa dibayangkan berapa banyak nelayan yang kapalnya hanya menumpuk di dermaga dan tidak melaut karena harga BBM yang tinggi.

Sangat ironis sekali, sebelumnya juga ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang memberikan perlakuan khusus bagi kapal ikan asing berbobot lebih dari 1.000 GT (grosston) untuk melakukan transhipment (pengalihan muatan ikan ke kapal lain di laut). Hal tersebut dapat memberi celah bagi legalisasi pencurian ikan (illegal fishing). Dapat dibayangkan jumlah kapal nelayan Indonesia yang berbobot lebih dari 1.000 GT hanya sedikit, dan yang memiliki kapal dengan ukuran besar adalah kapal asing.


Nelayan kecil semakin terpuruk
Keterpurukan dan ketidakberdayaan nelayan semakin diperparah dengan kenaikan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), keterbatasan peralatan dan modal, bunga pinjaman yang tinggi ,cuaca ekstrem, serta ketidakpastian hasil tangkapan dan harga penjualan. Hal ini sangat memberatkan nelayan karena 70 sampai 80 persen dari total biaya melaut adalah untuk membeli bahan bakar.


Kenaikan harga bahan bakar diperparah lagi dengan kelangkaan BBM tersebut. Bagaimana tidak, terbatasnya stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan kios pengisian solar nelayan di sentra produksi, memaksa nelayan membeli bahan bakar eceran yang harganya lebih mahal. Hal ini diperparah dengan adanya penghapusan BBM bersubsidi untuk ukuran kapal tertentu.
Disaat cuaca ekstrem seperti saat ini, banyak nelayan yang memutuskan tidak melaut karena sangat berbahaya. Jika ada yang nekat melaut, tidak sedikit dari mereka yang meninggal dan hilang karena diterjang ombak. Berbeda dengan nelayan asing, mereka masih bisa melaut menangkap ikan di perairan Nusantara meski dalam cuaca ekstrem karena kecanggihan kapal mereka.
Cuaca ekstrem ini bahkan bisa sampai selama sebulan dan selama itulah nelayan kita makin kewalahan untuk menghidupi keluarganya. Dan sampai saat ini belum banyak nelayan yang mendapatkan pekerjaan alternatif pada saat cuaca ekstrem. Sebagian kecil memang sudah ada yang memiliki pekerjaan alternatif, misalnya budidaya perikanan, bertani, berdagang, dan beternak. Akan tetapi sebagian besar masih banyak yang mengandalkan penghasilan dari mencari ikan di laut.
Terakhir, kehidupan nelayan berada di atas gelombang ketidakpastian. Ada kalanya mereka mendapatkan hasil yang melimpah, tetapi ada juga kalanya mengalami masa paceklik. Dalam soal harga penjualan hasil ikan tangkapan  juga demikian. Nelayan makin tersakiti ketika harga ikan impor lebih murah daripada ikan domestik. Padahal ikan impor yang masuk ke Indonesia bisa jadi adalah hasil tangkapan nelayan asing dari perairan Nusantara.
Kondisi inilah yang mengantar dan memaksa nelayan terjebak dalam belenggu kemiskinan dan ketidakpastian hidup. Hal ini juga membuat merosotnya minat generasi muda nelayan untuk mengikuti jejak orangtuanya. Mereka akhirnya lebih memilih menjadi penambang timah bagi anak nelayan yang ada di wilayah Bangka Belitung, sebagai buruh di perusahaan, kuli bangunan atau merantau menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).


Tanpa ada keseriusan dari negara ini untuk mengembangkan potensi bahari dan memberdayakan nelayan, maka tidak mustahil ke depan Indonesia akan mengalami krisis ikan dan juga krisis nelayan.
Dengan keadaan seperti di atas, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih fokus dan memiliki keberpihakan kepada rakyat utamanya rakyat kecil, yaitu nelayan. Bukan malah menerbitkan kebijakan yang menimbulkan pro kontra yang sepertinya hanya berpihak pada sebagian golongan tertentu, utamanya pelaku usaha besar atau pelaku usaha asing yang justru semakin memperburuk kondisi pelaku usaha perikanan kecil, utamanya nelayan tradisional.
Memang dibutuhkan kerjasama yang bersinergis antara pemerintah dan masyarakat utamanya pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan agar bisa mewujudkan kesejahteraan yang nyata bagi semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar