Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melarang
penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ke kapal nelayan dengan ukuran di
atas 30 GT. pelarangan itu merupakan kado kesengsaraan bagi nelayan di tengah
kondisi cuaca buruk yang membuat nelayan tidak bisa melaut.
Sangat disayangkan disaat kondisi cuaca buruk seperti saat
ini yang mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut, pemerintah justru menambah berat
beban nelayan melalui pencabutan BBM subsidi bagi nelayan dengan kapal 30 GT ke
atas.
Bahkan akibat kebijakan tersebut, para nelayan berencana melakukan
aksi unjuk rasa yang akan dilakukan di Jakarta pada pertengahan minggu ini.
Ribuan nelayan dari Indramayu, Cirebon, Tegal, Batang dan seluruh nelayan
Pantura yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB), akan melakukan aksi
ke kantor ESDM dan Istana Negara.
Pencabutan subsidi BBM itu telah diumumkan melalui surat yang
dikeluarkan BPH Migas yang ditandatangani Kepala BPH Migas Andy Noorsaman
Someng Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014.
Dalam surat tersebut dikeluarkan perintah kepada Pertamina,
AKR dan Surya Parna Niaga agar tidak menyalurkan dan tidak
melayani penyaluran jenis BBM tertentu (BBM Bersubsidi) kepada
konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran Kapal di atas 30 gross ton
(GT).
Surat tersebut ditujukan kepada Pertamina, AKR
Corporindo dan Surya Parna Niaga dengan tembusan antara lain kepada Menko
Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, Menteri ESDM
Jero Wacik dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo.
Keputusan itu didasari
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan
Konsumen Pengguna Jenis BBM tertentu, yang membatasi subsidi BBM untuk kapal di
atas bobot mati 30 ton. Perpres 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna
Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan
bobot maksimum 30 "gross" ton (GT) yang boleh menggunakan BBM
bersubsidi.
Aturan
tersebut disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan
Perpres 15/2012 tertanggal 24 Februari 2012 yang mengatur kapal di bawah 30 GT
hanya boleh mengonsumsi BBM subsidi maksimal 25 kiloliter per bulan.
Ditambah
lagi dengan adanya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Nomor 18/2013 tentang Harga Jual Eceran Jenis BBM Tertentu untuk
Konsumen Pengguna Tertentu, konsumsi solar bagi nelayan paling banyak 25
kiloliter per bulan. Selain itu juga ada surat Badan Pengatur Hilir Minyak dan
Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 yang mengatur penyaluran subsidi
BBM oleh Pertamina.
Akibat
kebijakan itu, nelayan yang biasanya membeli solar seharga Rp 5.500 per liter,
kini menjadi Rp 13.500 per liter. Saat ini, harga solar industri telah mencapai sekitar Rp12.924 perliter. Sementara
kebutuhan kapal terhadap BBM sekitar 25 ribu kilo liter (KL) perkapal untuk sekali melaut. Kondisi
inilah yang diharapkan oleh nelayan untuk kembali dipertimbangkan sebelum dilakukannya
pemberlakuan kebijakan tersebut. Dengan pencabutan subsidi itu, dipastikan
nelayan tidak bisa lagi menjangkau harga BBM non-subsidi.
Terlebih lagi menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, dari sekitar
500.000 kapal perikanan, terdapat 95 persen berukuran di bawah 30 GT. Bisa dibayangkan berapa banyak nelayan yang
kapalnya hanya menumpuk di dermaga dan tidak melaut karena harga BBM yang
tinggi.
Sangat ironis sekali,
sebelumnya juga ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang
Usaha Perikanan Tangkap yang memberikan perlakuan khusus bagi kapal ikan asing
berbobot lebih dari 1.000 GT (grosston) untuk melakukan transhipment
(pengalihan muatan ikan ke kapal lain di laut). Hal tersebut dapat memberi celah bagi
legalisasi pencurian ikan (illegal fishing). Dapat dibayangkan jumlah kapal nelayan Indonesia yang berbobot lebih dari
1.000 GT hanya sedikit, dan yang memiliki kapal dengan ukuran besar adalah
kapal asing.
Nelayan
kecil semakin terpuruk
Keterpurukan dan
ketidakberdayaan nelayan semakin diperparah dengan kenaikan harga dan
kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), keterbatasan peralatan dan modal, bunga
pinjaman yang tinggi ,cuaca ekstrem, serta ketidakpastian hasil tangkapan dan
harga penjualan. Hal ini sangat memberatkan nelayan karena 70 sampai 80 persen
dari total biaya melaut adalah untuk membeli bahan bakar.
Kenaikan harga bahan bakar
diperparah lagi dengan kelangkaan BBM tersebut. Bagaimana tidak, terbatasnya
stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan kios pengisian solar nelayan
di sentra produksi, memaksa nelayan membeli bahan bakar eceran yang harganya
lebih mahal. Hal ini diperparah
dengan adanya penghapusan BBM bersubsidi untuk ukuran kapal tertentu.
Disaat cuaca ekstrem seperti saat ini, banyak
nelayan yang memutuskan tidak melaut karena sangat berbahaya. Jika ada yang
nekat melaut, tidak sedikit dari mereka yang meninggal dan hilang karena
diterjang ombak. Berbeda dengan nelayan asing, mereka masih bisa melaut menangkap
ikan di perairan Nusantara meski dalam cuaca ekstrem karena kecanggihan kapal
mereka.
Cuaca ekstrem ini bahkan bisa
sampai selama sebulan dan selama itulah nelayan kita makin kewalahan untuk
menghidupi keluarganya. Dan sampai saat ini belum banyak nelayan yang mendapatkan pekerjaan
alternatif pada saat cuaca ekstrem. Sebagian kecil memang sudah ada yang memiliki pekerjaan alternatif, misalnya
budidaya perikanan, bertani, berdagang, dan beternak. Akan tetapi sebagian besar masih banyak yang
mengandalkan penghasilan dari mencari ikan di laut.
Terakhir, kehidupan nelayan
berada di atas gelombang ketidakpastian. Ada kalanya mereka mendapatkan hasil
yang melimpah, tetapi ada juga kalanya mengalami masa paceklik. Dalam soal
harga penjualan hasil ikan tangkapan juga demikian. Nelayan makin
tersakiti ketika harga ikan impor lebih murah daripada ikan domestik. Padahal
ikan impor yang masuk ke Indonesia bisa jadi adalah hasil tangkapan nelayan
asing dari perairan Nusantara.
Kondisi inilah yang mengantar
dan memaksa nelayan terjebak dalam belenggu kemiskinan dan ketidakpastian
hidup. Hal ini juga membuat merosotnya minat generasi muda nelayan untuk mengikuti jejak
orangtuanya. Mereka akhirnya lebih memilih menjadi penambang timah bagi anak
nelayan yang ada di wilayah Bangka Belitung, sebagai buruh di perusahaan, kuli bangunan atau
merantau menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).
Tanpa ada keseriusan dari
negara ini untuk mengembangkan potensi bahari dan memberdayakan nelayan, maka tidak mustahil ke depan
Indonesia akan mengalami krisis ikan dan juga krisis nelayan.
Dengan keadaan
seperti di atas, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih fokus
dan memiliki keberpihakan kepada rakyat utamanya rakyat kecil, yaitu nelayan.
Bukan malah menerbitkan kebijakan yang menimbulkan pro kontra yang sepertinya
hanya berpihak pada sebagian golongan tertentu, utamanya pelaku usaha besar atau pelaku usaha asing yang justru semakin
memperburuk kondisi pelaku usaha perikanan kecil, utamanya nelayan tradisional.
Memang
dibutuhkan kerjasama yang bersinergis antara pemerintah dan masyarakat utamanya
pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan agar bisa mewujudkan
kesejahteraan yang nyata bagi semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar