Senin, 06 Mei 2013

Nasib Nelayan Kecil Di tengah Kekayaan Laut Indonesia

Tulisan saya ini juga telah dimuat di Bangka Pos, kolom “OPINI” edisi hari Sabtu, 04 Mei 2013:
Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 kilometer dan luas perairan sekitar 5,8 juta kilometer persegi, seharusnya bisa menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat khususnya nelayan. Akan tetapi sangat disayangkan, kekayaan laut yang melimpah tersebut tidak dikelola dengan baik. Pembangunan masih tetap berkiblat ke daratan, padahal dua pertiga dari luas wilayah Indonesia adalah perairan.
muntok.pelabuhan.1
Di saat negara ini kurang memperhatikan dan melindungi lautnya, terjadilah pencurian kekayaan laut yang dilakukan oleh pihak asing. Kerugian yang dialami Indonesia akibat pencurian ikan oleh nelayan asing, sangat besar. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), potensi kerugian Indonesia akibat pencurian ikan mencapai Rp 30 triliun per tahun. Jumlah tersebut sama dengan separuh dari hasil perikanan tangkap laut Indonesia, yang pada tahun 2011 nilai produksinya adalah sekitar Rp. 60 triliun. Seandainya uang sebanyak itu menjadi milik kita, tentu sudah bisa menyelamatkan jutaan anak yang putus sekolah atau yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) tidak terlepas dari beberapa pertimbangan strategis yang sudah dikaji Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Permen ini ditetapkan untuk mendorong investor, utamanya dari dalam negeri untuk melakukan usaha penangkapan ikan di laut lepas. Dengan tujuan akhir volume produksi perikanan meningkat yang otomatis memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Disatu sisi, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 ini memiliki keunggulan dibanding peraturan sebelumnya. Diantaranya pertama, mempercepat industrialisasi perikanan tangkap dengan aturan yang memperbolehkan pengadaan perikanan baru dan bukan baru dari dalam negeri dan luar negeri dengan ukuran yang memadai atau lebih besar. kedua, mengoptimalkan pemanfaatan dan produksi hasil penangkapan ikan di ZEEI di luar 100 mil.
Selain itu, Permen ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perikanan, melalui aturan kewajiban usaha perikanan tangkap terpadu dan pemilik kapal kumulatif di atas 200 GT untuk mengolah ikan hasil tangkapan pada unit pengolahan ikan di dalam negeri.
Akan tetapi di sisi lain, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang memberikan perlakuan khusus bagi kapal ikan asing berbobot lebih dari 1.000 GT (grosston) untuk melakukan transhipment (pengalihan muatan ikan ke akapal lain di laut) dapat memberi celah bagi legalisasi pencurian ikan (illegal fishing)
Kebijakan Menteri yang memperbolehkan kapal ikan asing melakukan transhipment dan mencuri ikan Indonesia melalui Permen Kelautan dan Perikanan tersebut memperkuat dugaan adanya mafia perizinan kapal ikan di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Disebutkan bahwa kapal ikan berbobot di atas 1000 GT diizinkan boleh melakukan transhipment dan membawa tangkapan ikannya langsung ke luar negeri. Alasannya, karena selama ini perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) belum dimanfaatkan. Benarkah ZEEI belum dimanfaatkan?
Berdasarkan Pasal 38 Permen KP 30/2012 diketahui bahwa kapal ikan Indonesia berukuran di atas 30 GT dapat diberi izin menangkap ikan di perairan kepulauan dan ZEEI. Sedangkan kapal di atas 100 GT menangkap ikan di ZEEI. Diketahui hingga akhir 2011 jumlah kapal ikan Indonesia berbobot di atas 30-100 GT sekitar 2.745 armada. Untuk kapal di atas 100 GT sekitar 1.742 armada. “Dengan demikian, total kapal ikan RI yang sudah memperoleh izin menangkap ikan di ZEEI sekitar 4.487 armada.
Untuk mengelola perairan ZEEI tidak harus kapal berbobot 1.000 GT. Selain itu, Indonesia tidak memiliki kapal ikan >1.000 GT. Dengan demikian, izin transhipment bagi kapal 1.000 GT dapat diartikan untuk memfasilitasi kapal-kapal ikan asing.
Perlu diketahui, DITJEN Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) mencatat selama periode 2005-2012 sebanyak 1.277 kapal diduga melakukan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing. Dari jumlah tersebut yang terbesar dilakukan oleh kapal asing. Kapal perikanan asal Indonesia yang diduga melakukan IUU fishing sebanyak 563 buah. kalau kapal ikan asing menangkap di perairan di Indonesia, 99.5% melakukan IUU Fishing.
Sejumlah pelanggaran itu antara lain, melanggar wilayah penangkapan yang telah ditentukan Surat Izin Usaha Perikanan atau fishing ground tidak sesuai dengan izin. Kapal penangkap ikan itu juga menggunakan alat tangkap terlarang, tak memiliki dokumen atau tidak lengkap hingga pencurian ikan, khususnya olah kapal asing.
Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan telah mengamanatkan bahwa kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI untuk wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal (ABK) Indonesia.
Bulan Juli 2012, terdata enam kapal, yakni KM Bintang Barelang 12, KM Laut Barelang 18, KM Laut Barelang 21, KM Laut Natuna 06, KM Laut Barelang 7, dan KM Laut Barelang 25, yang diperiksa patroli pengawas Hiu 004 terbukti menggunakan nakhoda dan mayoritas ABK asing. KM Laut Natuna 06 terindikasi memindahkan 70 drum ikan ke kapal Pit Snoke berbendera Malaysia. KM Laut Barelang 21 memindahkan ikan ke kapal Malaysia tanggal 18 Juli 2012, dan KM Laut Barelang 18 pasok ikan ke kapal Malaysia tanggal 7 Juni 2012 dan membongkar ikan di Pelabuhan Thailand. KM Bintang Barelang 12 membongkar 180 drum ikan ke Pelabuhan Pattani, Thailand, tanggal 28 Juni 2012. (Kompas.com,11/1/2013).
Akar masalah yang menyebabkan pencurian ikan tersebut adalah karena negara ini tidak memiliki visi yang jelas tentang pembangunan kelautan dan perikanan. Sehingga tidak ada arah yang jelas dan kebijakan yang strategis dalam melindungi dan memanfaatkan kekayaan laut. Ditambah lagi dengan kurangnya rasa memiliki dan empati dari warga Indonesia, utamanya pelaku usaha di bidang perikanan akan pentingnya memanfaatkan sumberdaya alam kelautan dan perikanan secara bijak dan tidak merusak lingkungan.
Hal lainnya jelas terlihat dengan minimnya pengamanan wilayah perairan karena kekurangan armada patroli. Sungguh sangat memprihatinkan, wilayah perairan Nusantara yang sangat luas hanya memiliki sekitar 150 kapal perang TNI AL untuk mengamankan wilayah perairan.
Minimnya armada patroli dan tingkat kesiapan petugas, membuat kapal asing leluasa mengangkut ikan dari perairan Indonesia. Di perairan Aceh misalnya, diperkirakan pencurian ikan oleh kapal asing mencapai 10.000 ton setiap harinya. Pencurian ini terjadi hampir di seluruh wilayah perairan dari Aceh hingga Papua. Laut sebagai masa depan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah, ternyata masih sebatas wacana.
Selain minimnya armada patroli, pencurian ikan di laut Indonesia juga diperparah dengan pemberian izin kepada pemilik kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Kapal-kapal asing tersebut berbendera ganda. Ketika mereka menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia, mereka menggunakan bendera Merah Putih. Tetapi bendera akan diganti ketika kembali mengantar hasil tangkapan ikan ke negara asalnya.
Diperkirakan sebanyak 700 kapal asing yang melakukan penyalahgunaan izin. Penyalahgunaan izin ini bisa jadi makin besar ketika aparat ikut terlibat secara langsung atau tidak dalam pengurusan surat izin usaha perikanan, penangkapan ikan, dan izin kapal pengangkut ikan.
Nelayan kecil semakin terpuruk
Pemberian izin kepada pemilik kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah perairan Nusantara sudah sangat jelas semakin meminggirkan nasib nelayan dan juga membuat industri perikanan nasional semakin redup karena keterbatasan bahan baku. Nelayan Indonesia yang pada umumnya hanya menggunakan perahu kecil sudah pasti kalah bersaing dengan kapal-kapal asing yang besar dan dilengkapi dengan teknologi penangkapan, alat navigasi, dan komunikasi canggih. Akhirnya, nelayan Indonesia berada dalam keterpurukan.
Keterpurukan dan ketidakberdayaan nelayan semakin diperparah dengan kenaikan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), keterbatasan peralatan dan modal, bunga pinjaman yang tinggi ,cuaca ekstrem, serta ketidakpastian hasil tangkapan dan harga penjualan. Selama pemerintahan SBY, harga BBM sudah mengalami kenaikan selama tiga kali. Hal ini sangat memberatkan nelayan karena 70 sampai 80 persen dari total biaya melaut adalah untuk membeli bahan bakar.
Kenaikan harga bahan bakar diperparah lagi dengan kelangkaan BBM tersebut. Bagaimana tidak, terbatasnya stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan kios pengisian solar nelayan di sentra produksi, memaksa nelayan membeli bahan bakar eceran yang harganya lebih mahal. Ditambah lagi dengan adanya penghapusan subsidi minyak tanah yang semakin menambah derita nelayan, karena keluarga nelayan sangat bergantung pada minyak tanah untuk kegiatan sehari-harinya.
Selain hal di atas, masih banyak nelayan Indonesia yang menggunakan kapal tradisional tanpa motor dimana hanya bisa menangkap ikan di pesisir pantai. Keterbatasan modal menjadi penghalang bagi nelayan untuk membeli perlengkapan yang memadai.
Ketika keluarga dari nelayan miskin membutuhkan uang untuk kelangsungan kehidupannya misalnya untuk membeli perahu, jaring, modal melaut, biaya makan sehari-hari, dan biaya pendidikan anak-anak, maka jalan yang terpaksa mereka pilih adalah menghutang kepada juragan atau tengkulak dengan bunga yang  tinggi. Lebih parah lagi, nelayan yang mengutang tersebut wajib menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak yang memberi modal dengan harga di bawah harga pasar.
Disaat cuaca ekstrem, banyak nelayan yang memutuskan tidak melaut karena sangat berbahaya. Jikalau ada yang nekat melaut, tidak sedikit dari mereka yang meninggal dan hilang karena diterjang ombak. Berbeda dengan nelayan asing, mereka masih bisa melaut menangkap ikan di perairan Nusantara meski dalam cuaca ekstrem karena kecanggihan kapal mereka.
Cuaca ekstrem ini bahkan bisa sampai selama sebulan dan selama itulah nelayan kita makin kewalahan untuk menghidupi keluarganya dan juga untuk melunasi bunga pinjamannya. Dan sampai saat ini belum banyak nelayan yang mendapatkan pekerjaan alternatif pada saat cuaca ekstrem. Sebagian memang sudah memiliki pekerjaan alternatif, misalnya budidaya perikanan, bertani, berdagang, dan beternak.
Terakhir, kehidupan nelayan berada di atas gelombang ketidakpastian. Ada kalanya mereka mendapatkan hasil yang melimpah, tetapi ada juga kalanya mengalami masa paceklik. Dalam soal harga penjualan hasil ikan tangkapan  juga demikian. Nelayan makin tersakiti ketika harga ikan impor lebih murah daripada ikan domestik. Padahal ikan impor yang masuk ke Indonesia bisa jadi adalah hasil tangkapan nelayan asing dari perairan Nusantara.
Kondisi inilah yang mengantar dan memaksa nelayan terjebak dalam belenggu kemiskinan dan ketidakpastian hidup. Hal ini membuat merosotnya minat generasi muda nelayan untuk mengikuti jejak orangtuanya. Mereka akhirnya lebih memilih menjadi buruh di perusahaan atau merantau menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).
Tanpa ada keseriusan dari negara ini untuk mengembangkan potensi bahari dan memberdayakan nelayan, maka ke depan Indonesia akan mengalami krisis ikan dan juga krisis nelayan.
Dengan keadaan seperti di atas, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih fokus dan memiliki keberpihakan kepada rakyat utamanya rakyat kecil, yaitu nelayan Indonesia. Bukan malah menerbitkan kebijakan yang menimbulkan pro kontra yang sepertinya hanya berpihak pada sebagian golongan tertentu, utamanya pelaku usaha besar/pelaku usaha asing dan justru semakin memperburuk kondisi pelaku usaha perikanan kecil, utamanya nelayan tradisional.
Pemerintah dapat lebih fokus untuk pertama, melindungi perairan nelayan tradisional dengan memastikan kapal RI berbobot di atas 50GT tidak masuk perairan kepulauan, tapi fokus menangkap ikan di ZEEI. Kedua, melakukan revitalisasi armada ikan RI agar menjadi tuan rumah di perairan ZEEI. Ketiga, penegakan hukum agar kapal ikan RI tidak justru berkompetisi dengan kapal-kapal ikan asing yang marak melakukan IUU Fishing di perairan ZEEI.
Nelayan diberikan pelatihan tentang alternatif usaha lainnya (seperti budidaya ikan baik air payau ataupun air tawar, pengolahan lebih lanjut bagi produk ikan hasil tangkapan) yang mampu membantu mereka disaat cuaca ekstrim tiba yang menyebabkan mereka tidak melaut. Hal lainnya, pelaksanaan PNPM Mandiri bagi nelayan di pesisir dengan berkesinambungan, dalam arti setelah program PNPM selesai, pemerintah atau pihak yang menjalankan PNPM tetap melakukan pendampingan kepada nelayan dan bukan malah dibiarkan begitu saja.
Memang dibutuhkan kerjasama yang bersinergis antara pemerintah dan masyarakat utamanya pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan agar bisa mewujudkan kesejahteraan yang nyata bagi semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar